Nasehat untuk Suami Isteri
Advertisement
FIQH AKTUAL | Ketika seorang isteri mau tinggal bersama suaminya yang berkorban demi anak dan dirinya, terik matahari, deras guyuran hujan, kesakitan demi kesakitan, tak jarang berujung kematian.Iatelahdipilih dari sekian banyak perempuan, kemudian ia balik berjuang berbakti, maka wajib bagi suami terus menaunginya. Namun jika sebaliknya maka tidak perlu dipertahankan, hal ini sangat berbahaya.
Seorang lelaki harus berprinsip, jika tidak ingindiremehkan isteri dan mertuanya, ketika dihormati maka balas hormat, dihina maka tinggalkan kemudian bertawakkal, usah menghinakan diri di hadapan para perempuan yang tidak bisa menjadi pendamping, apalagi memelas kepada manusia lemah yang membencinya atau musuh yang menguasainya.
Nabi mengajarkan umatnya hidup mulia, Allah Ta’ala pun mengharamkan hambaNya menggadaikan kehormatan di hadapan makhluk.
Ketika martabat suamisebagai kepala rumah tangga tidak dihargai dan didengar, maka tiada wibawa baginya, tak pantas para lelaki frustasi apalagi menangisi segala ujian duniawi, jika hendak menangis, maka menangislah ketika tertinggal shalat subuh berjamaah, tidak jadi berjihad, mengingat perjuangan Rasulullah dan para sahabat, tidak lancar membaca Al Qur’an, tidak khusu’ dalam shalat, tidak bisa menghilangkan kesulitan orang lain,jauh dari keberkahan maupunketaatan dan sejenisnya.
Ketika seorang Muslim sudah memiliki prinsip dan wibawa, maka ia akan mudah melangkah, ringan hidupnya, ingat! Bahwa cinta adalah pengorbanan dan kasih sayang, bukan ketika mampu disayang, namun ketika dalam kesulitan ditinggal. Ketahuilah! Allah maha adil, maka berhati-hatilah bersikap.
Ketika seorang perempuan menerima ikatan nikah seorang lelaki, maka suaminya menjadi lebih dihormati dari kedua orang tuanya, bukan berarti orang tua tidak dihormati, orang tua tetap harus dimuliakan, namun suami lebih dihormati.Ketika orang tua menyuruh kepada kedurhakaan, maka tidak wajib ditaati dan orang tua tetap diperlakukan secara ma’ruf.Kendati suami lebih dihormati, mereka hendaknya tidak melarang para isteri untuk tetap berkomunuikasi dengan orang tuanya.
Belajar dari Abu Bakar yang senatiasa meminta izin kepada menantunya yaitu Rasulullah untuk berbicara dengan putrinya Aisyah tatkala ada permasalahan rumah tangga, jika tidak diijinkan maka ia tak boleh berbicara sampai Rasulullah mengijinkannya. Hal demikian seyogyanya difahami setiap insan, karena siapa lagi yang pantas kita tauladani selain manusia terbaik yang pernah menghiasi bumi.
Ingat!
Memang benar orang tua berjasa membesarkan anaknya, namun sebagai Muslim wajib percaya dengan takdiryang sudah ada 50 ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan, setiap pasangan suami isterisejatinya sudah tercatat jauh sebelum para orang tua melahirkan dan mengurusi anak-anaknya.Inilah takdir yang digariskan Tuhan.Hal ini yang kurang difahami banyak orang.Dengan demikian para orang tua tidak perlu umbar jasa untuk sebuah pembenaran, cukup memahami takdir dengan benar.
Para isteri tidak dibetulkan secara agama lebih memilih orang tuanya dari suaminya, ketika ia sudah menerima akad seorang lelaki, maka dialah yang harus dinomor satukan dari kedua orang tuanya. Beginilah Islam mengatur kehidupan berumah tangga, bahkan begitu mudahnya seorang isteri masuk surga jika ia berbakti kepada suaminya, sampai kapanpun seorang isteri wajib taat kepada perintah suami selama bukan dalam kemaksiatan.
Belajarlah dari bakti dan ketakwaan Asiyah binti Muzahim yang dipersiapkan rumah di surga yang bersuamikan manusia paling bejat di muka bumi yaitu Fir’aun, saking bejatnya kepergiannya tidak ditangisi oleh langit dan bumi. Ketahuilah! Hampir saja para perempuan diperintahkan bersujud kepada suami.
Rumah tangga adalah hubungan sakral antara dua sejoli yang terikat di dunia namun jalinannya menembus langit, saking sakralnya ikatannya disamakan dengan ikatan yang terjalin antara Allah Ta’ala dan para Nabi, begitupun antara Allah Ta’ala dan Bani Israil.
Ketika ia sudah banyak tercampuri, maka kesakralannya sudah tak bernilai, rumah tangga seperti ini lebih layak disebut rumah makan atau jajanan kaki lima di emperan perempatan, setiap orang boleh keluar masuk sesuai dengan selera dan hawa nafsunya.
Menikah diniatkan untuk terus bersatu, sampai tua kemudian mati, bukan untuk berpisah, menikah bukan hal main-main layaknya orang jual gorengan atau tahu bulat yang mudah dibolak balik. Anehnya ada saja orang tua secara tidak sadar telah mempersiapkan anaknya untuk berpisah dengan mengkadernya menjadi perempuan karir jika kelak bercerai,loh! Menikah saja belum tapi sudah berpikir ke arah sana, bahkan dengan terang-terangan menyuruh anaknya untuk menceraikan suaminya lantarantuntutan materi,belum dikarunia momongan, dengki, berbeda kepentingan dan masalah yang bersifat dunia lainnya. Alamak, hal ini sungguh tidak dibenarkan.
Ketahuilah para isteri! Suami Anda lebih berhak dari orang tua Anda, jika hal ini benar-benar terjadi, maka para suami hendaknya segera beritahukan keluarga terdekat atau laporkan kepada pihak berwenang karena hal ini sangat bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di negeri ini, terkecuali jika sang isteri tidak memperjuangkan usaha suaminya dan lebih memilih keluarganya, maka para suami usah ragu untuk melepaskannya dan melangkah memulai kehidupan baru.
Al Qur’an dengan tegas membahas, bahwa setiap rencana buruk seseorang pasti akan kembali kepada yang merencanakannya, bahkan Allah Ta’ala akan memasukkannya ke dalam kehinaan di dunia maupun di akherat sebagaimana kaum Nabi Ibrahim yang telah membakarnya. Ingatlah para perencana buruk! Allah Ta’ala adalah sebaik-baik perencana, maka berencanalah yang baik-baik.
Seorang Muslim jangan terlalu mencintai dunia, karena hal itu pangkal segala kebinasaan, bukan berarti kita tidak butuh dunia, namun cerdaslah memahami dengan jangan menjadikan dunia sebagai orientasi terbesar mengalahkan akherat.
Ketika seseorang sudah menautkan segala urusannya hanya kepada AllahTa’ala, meyakini tiada kekuatan selainNya, maka Allah Ta’ala akan bukakan jalan kemudahan sebagai kompensasi dari ketakwaannya. Jika setiap langkah dilakukan karena Allah, maka tidak ada istilah rugi, hilang,dan menyesal ketika seseorang teguh dengan prinsipnya.
Rumah tangga sakinah, mawaddah dan penuh rahmat membangunnya bukan dengan berhayal seperti kebanyakan kehidupan kaum alay yang pandai berkata-kata dan menyihir jutaan pasang mata, namun denganperubahan sikap,ketulusan berdoa, perjuangan dan memahami fiqih pernikahan maka hal itu dapat terwujud, adapun kehidupan yang jauh dari ilmu pengetahuan dan redho Allah Ta’ala, maka mustahil rumah tangga samara terwujud, sekali lagi mustahil!
Kehidupan suami isteri sering disebut “rumah tangga”, karena memang dalam menaikinya ada naik turun, pasang surut,gesekan, tantangan, pelbagai ujian,dan sekelumit permasalahan lainnya yang disebut sebagai bumbu penyedap. Bukan rumah tangga namanya jika tidak ada masalah.Ketika matipun masalah tetap datang.Maka bersyukurlah dalam setiap keadaan dan usah banyak berkeluh kesah.
Masalah sebesar apapun dalam rumah tangga sebaiknya dicarikan solusi, bukan dibesar-besarkan, kemudian saling menyalahkan, merasa paling benar.Mencintai isteri karena AllahTa’ala, begitupun mencitai suami karenaNya. Jika landasannya bukan karenaNya, maka masalah akan bertambah besar tanpa ada jalan keluar dan berujung pada penyesalan.
Saat seseorang mengalami masalah keluarga, kadang kala kita dapati ada saja pihak yang mendukungnya untuk segera menuju meja hijau padahal belum ada dialog antar kedua belah pihak.Alangkah sayangnya jika kejadian seperti ini banyak terjadi di masyarakat atau bahkan di lingkungan terdekat.
Yang harus kita lakukan bukan mendukung apalagi mengompori agar segera berpisah tanpa mengetahui sebabnya terlebih dahulu, tapi sebagai seorang Muslim seyogyanya untuk bisa menjadi juru damai sesuai dengan petunjuk Al Qur’an di Surat An Nisaa ayat 35.
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam[juru damai] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Seorang Muslim sepatutnya pandai bersabar ketika ditimpa suatu masalah dan pandai bersyukur dengan segala karunia yang Allah Ta’ala berikan kepadanya dengan tidak sombong, begitu juga saat seseorangdalam keadaan marah sebisa mungkin memperbanyak ampunan kepadaNya dan belajar untuk terus menjadi pribadi yang mudah memaafkan.
وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”(QS: Al Baqarah: 237)
Kemudian bagaimana dengan para perempuan yang sudah terlanjur menikah, bahkan merasa menyesal dengan pasangan hidupnya dan berniat ingin segera berpisah.Adakah solusi yang ditawarkan ajaran Islam jika kenyataannya demikian.
Perceraian memang diperbolehkan jika keadaannya sudah sangat terpaksa alias darurat, sebagai contoh seorang isteri yang sudah tidak tahan hidup dengan suaminya lantaran sang suami tidak bertanggung jawab dengan sengaja menelantarkannya, tidak memberi nafkah lahir bathin, tidak memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, sering melanggar aturan agama, jauh dari ketaatan dan alasan mendesak lainnya.
Seorang isteri boleh mengajukan permintaan untuk dicerai demi kemaslahatan, dalam ilmu fiqih disebut dengan “Khulu” yaitu gugatan cerai yang diminta oleh pihak istri kepada suaminya dengan membayar kompensasi yang disepakati oleh kedua belah pihak (suami-isteri), dalam hal ini suami tidak diperkenankan memberatkan sang isteri, seperti dengan kata-kata berikut :
“Kalau kamu ingin bercerai dengan saya itu boleh saja, asalkan kamu membayar kompensasi dengan segudang emas dan berlian seberat pohon beringin, juga uang puluhan miliar atau alasan irasional lainnya yang memberatkan sang istri”.
Seorang suami jika memang berat untuk berpisah dan benar-benar cinta kepada isterinya hendaknya bisa menjaganya dengan menjadi pribadi-pribadi menawan di hadapan belahan jiwanya, bukan membuat sang isteri tidak tahan bersamanya karena prilaku buruknya.
Gugatan isteri tetap berada di tangan suami.Lain halnya jika perkaranya sudah masuk ke pengadilan.Maka hakim di pengadilanlah yang akan memutuskan perkara.
Jika seseorang ingin melangsungkan pernikahan, maka harus secara baik-baik dan jika ingin berpisah, perpisahannya harus dilakukan secara baik-baik pula tanpa harus ada yang disakiti apalagi dirugikan, terlebih lagi saling membuka aib kedua belah pihak pasca perceraian.Hal ini sangat tidak dibenarkan.
وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً
“Dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (QS: Al Ahzab: 49)
Seorang isteri tidak boleh begitu saja mengajukan Khulu tanpa sebab kepada suaminya, jika tiada alasan yang dibolehkan syariat, berarti permintaannya mengada-ada dan telah mempermainkan kesakralan pernikahan, hal demikian bisa mendatangkan kerusakan bagi kehidupan.
Hal ini menjadi alasan kenapa hak cerai ada di tangan suami, bukan di tangan isteri, karena suami lebih matang dalam berpikir adapun para isteri bisa dengan mudah menggugat cerai suaminya lantaran masalah sepele, lupa memberi ucapan ulang tahun berturut-turut, telat memberi uang belanja serta kebutuhan kosmetik, lupa dengan janji karena kesibukan kerja,merasa kurang diperhatikan, mendengar suaminya bahas poligami, tersenggol tangan suami padahal sangat pelan dan alasan yang kurang bisa difahami para lelaki.
Perceraian tanpa sebab hanya akan berakibat buruk!
Anehnya, saat para pasangan memutuskan bercerai, beralasan untuk kebaikan masing-masing!
Kebaikan mana yang dimaksud?
Adakah kebaikan bagi anak-anaknya jika kelak ibu dan ayahnya terpisah oleh ruang, jarak dan dinding waktu?
Bagaimana nasib mereka kelak, karena kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya?
Apa salah dan dosa anak-anaknya sehingga harus menyandang status “broken home”?
Siapkah menanggung beban psikologis seorang anak, karena merasa minder dengan statusnya?
Akankah suami-isteri yang terpisah bisa menjadi kebanggaan anak di hadapan teman-temannya?
Bagaimanapun juga anak-anaklah yang menjadi korban dari fenomena sosial yang marak ini!
Bila masih mungkin untuk bersatu, maka ada baiknya seorang perempuan tidak cepat-cepat memutuskan untuk menempuh jalur ‘Khulu”,karena masih ada dialog sebagai pintu keluar yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.
Renungkanlah duhai sebaik-baik perhiasan dunia!
قَالَ رَسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Perempuan mana yang meminta perceraian dari suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya aroma surga.” (HR. Ahmad. Abu Daud, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan sahabat Tsaubaan)
Duhai sebaik-baik perhiasan dunia!
Ketahuilah, bahwa perceraian adalah kejadian yang sangat disukai setan. Imam Muslim meriwayatkan, yang artinya:
“Sesungguhnya Iblis meletakkan kerajaannya di atas air.Lantas, mengutus pasukan-pasukannya. Prajurit yang paling dekat dengannya, ia adalah yang paling besar fitnahnya. Kemudian salah satu dari mereka datang untuk melaporkan :
“Aku telah melakukan ini dan itu!” maka Iblis berkomentar. “Engkau tidak melakukan apa-apa!”. Selanjutnya yang lain datang seraya berkata : “Tidaklah aku tinggalkan (anak adam) sampai aku pisahkan dirinya dengan isterinya,” maka Iblis mendekatkannya seraya berseru : “Bagus benar dirimu”. (HR. Muslim)
Sebagai kesimpulan, perpisahan dalam rumah tangga dibolehkan,jika kawatir bisa merusak urusan agamanya, dengan harapan Allah Ta’ala akan menggantinya dengan yang lebih baik.Namun bersabar dengan tetap bersatu juga diperbolehkan jika kuat fisik dan mentalnya.
Nabi Ismail pernah menceraikan isterinya yang kurang pandai bersyukur kepada Allah Ta’ala dan kepada suaminya,hal ini sebagaimana saran dari ayahnya Nabi Ibrahim. Kemudiania menikah kembali dengan perempuan terhormat dari suku Jurhum salah satu kabilah Arab yang dari garis keturunannya terlahir seorang Nabi yang mulia Muhammad shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Nabi Muhammad pernah menceraikan salah satu isterinya bernama Hafsah binti Umar bin Khatab yang telah berbuat khilaf dengan menyulitkan Nabi yang membuat dadanya menjadi sempit dan bersedih karena iatelah menyebarkan rahasianya namun setalah itu Rasulullah memaafkan beliau dan rujuk kembali hingga Hafsah dan Umarpun menjadi tenang.
Begitupun dengan para sahabat Nabi yang mulia diantaranya Abdullah bin Umar bin Khatab, iapun menceraikan isterinya atas saran Ayahnya karena dipandang kurang baik dalam perkara agama isterinya dan bukan karena masalah duniawi. Bukankah diantara garis keturunan Umar ada yang menikah dengan rakyat jelata namun dipilih karena bertakwa kepada AllahTa’ala yang kemudian lahir dari pernikahan tersebut seorang pemimpin yang adil yaitu Umar bin Abdul Aziz yang disebut-sebut para ulama sebagai khalifah ke-5.
Pelajaran berharga dari kisah di atas bahwa para suami maupun isteri tidak boleh taat kepada orang tua yang memaksa menceraikan pasangannya karena hawa nafsu, ego,pikiran sempit dan kesombongan orang tuanya.Kecuali jika isteri atau suami tidak taat, zalim, fasik, menelantarkan anak, menjalin hubungan dengan orang lain,senang mengumbar aurat, melalaikan shalat dan sudah dinasehati namun tetap durhaka, maka perintah orang tua untuk menceraikan pasangannya wajib ditaati karena betapa rusak agamanya.
Akhir kata semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga rumah tangga setiap Muslim dari segala keburukan, niat buruk para pendengki, orang-orang fasik dan kaum munafik yang hadir di sekitar kita. Ma’adzallah.
Teruntuk para pasangan yang saling mencinta dan mengasihi karena Allah Ta’ala! Bersabarlah dengan sabar yang indah, pertahankan kesakralan dan keutuhan rumah tangga yang sudah terbina rapi, tepis segala hasudan yang ada. Bersabarlah, bersabarlah dan teruslah bersabar atas segala ujian yang menimpa, karena esok atau lusa mungkin kita sudah tiada.Maka perjuangkanlah mahligai rumah tanggaanda sampai ajal menjadi pemisah. Alangkah indahnyakisah cinta dan cerita rumah tangga seperti ini!.