Hukum Wanita Ke Luar Negeri Tanpa Mahram
Advertisement
Assaalamu'alaikum,
Bapak Ustadz yang semoga selalu
sehat dan irahmati ALLAH. Pertanyaan saya,
bolehkah seorang wanita pergi haji tanpa saudara,
anak, atau suami yang menyertai?
Wassalamu'alaikum,
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bila kita menilik dalil-dalil syar'i, kita akan menemukan lafadz yang tidak memperkenankan para wanita untuk keluar rumah lebih dari tiga hari kecuali ditemani oleh mahram atau suaminya. Larangan ini bersifat umum dan jelas berdasarkan sabda Rasulullah SAW. Namun ketika menarik kesimpulan hukum, para ulama berbeda pendapat dalam detail rinciannya.
Bila kita menilik dalil-dalil syar'i, kita akan menemukan lafadz yang tidak memperkenankan para wanita untuk keluar rumah lebih dari tiga hari kecuali ditemani oleh mahram atau suaminya. Larangan ini bersifat umum dan jelas berdasarkan sabda Rasulullah SAW. Namun ketika menarik kesimpulan hukum, para ulama berbeda pendapat dalam detail rinciannya.
Di antara dalil nash yang paling
masyhur di kalangan kita tentang masalah ini adalah
sabda nabi SAW berikut ini
Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya`. (HRMuttafaq 'alaihi)
Namun para ulama berbeda pendapat
bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam
masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua
pendapat yang berkembang.
1.
Mengharuskan ada mahram secara mutlak.
Seorang wanita yang sudah akil
baligh tidak diperbolehkan bepergian lebih
dari tiga hari kecuali ada suami atau mahram bersamanya. Hal
itu sudah ditekankan oleh Rasulullah SAW
sejak 14 abad yang lalu dalam sabda beliau.
Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya. (HR Muttafaq 'alaihi)
Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah, "Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya." Ada seorang bertanya,`Ya Rasulullah SAW, aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu namun isteriku bermaksud pergi haji. Rasulullah SAW bersabda,"Pergilah bersama isterimu untuk haji bersama isterimu." (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad.)
Dengan dua dalil di atas dan
dalil-dalil lainnya, sebagian ulama berpendapat wanita
diharamkan bepergian sejauh perjalanan 3
hari, kecuali harus benarbenar ditemani oleh mahramnya atau
suaminya. Dan di antara yang berpendapat demikian
antara lain: Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad bin
Hanbal, An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri dan Ishaq
rahimahumullah.
Buat kalangan ini, keberadaan mahram atau suami adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi bila seorang wanita ingin bepergian. Tanpa keberadaan salah satu dari keduanya, maka tidak halal bagi wanita untuk bepergian keluar rumah lebih dari tiga hari lamanya.
Buat kalangan ini, keberadaan mahram atau suami adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi bila seorang wanita ingin bepergian. Tanpa keberadaan salah satu dari keduanya, maka tidak halal bagi wanita untuk bepergian keluar rumah lebih dari tiga hari lamanya.
Abu Hanifah menggunakan hadits
ini sebagai dalil bahwa seorang wanita yang tidak
punya mahram atau tidak ada suami yang menemaninya,
maka tidak wajib untuk menunaikan ibadah haji yang
wajib atasnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim
An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat
bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji
karena tidak punya mahram yang menemani. Maka
Ibrahim An-Nakha`i menjawab bahwa anda termasuk
orang yang tidak wajib untuk berhaji.
2.
Tidak mengharuskan secara mutlak
Sebagian ulama memahami hadits
yang digunakan oleh pendapat di atas bukan
sebagai syarat mutlak, melainkan sebagai sebagai
gambaran tentang perhatian Islam kepada para wanita dan
upaya melindungi mereka dari ketidak-amanan
perjalanan.
Hal itu lantaran di masa itu
memang belum ada jaminan keamanan bagi wanita yang
bepergian sendirian. Sehingga keberadaan
mahram atau suami adalah antisipasi dari buruknya
keadaan di masa lalu, khususnya dalam perjalanan
menembus padang pasir jauh dari peradaban.
Namun ketika keadaan masyarakat
sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi ancaman dan
bahaya yang menghadang di tengah jalan, maka
tidak lagi diperlukan mahram atau suami. Hal itu
tergambar dalam sabda nabi SAW yang lainnya, seperti
berikut ini:
`Wahai Adi, Pernahkah kamu ke Hirah? Aku menjawab, belum tapi hanya mendengar tentangnya.Beliau bersabda, "Apabila umurmu panjang, kamu akan melihat wanita bepergian dari kota Hirahberjalan sendirian hinggabisa tawaf di Ka`bah, dengan keadaan tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja`. Adi berkata, "Maka akhirnya aku menyaksikan wanita bepergian dari Hirah hingga tawaf di ka'bah tanpa takut kecuali hanya kepada Allah." (HR Bukhari).
Dari hadits yang dishahihkan oleh
Al-Imam Al-Bukhari ini, para ulama pendukung
pendapat kedua mengambil kesimpulan bahwa syarat
kesertaan mahram itu bukan syarat mutlak,
melainkan syarat yang diperlukan pada saat perjalanan
keluar kota yang tidak terjamin keamanannya, baik dari
kejahatan maupun dari fitnah lainnya.
Dan jelas sekali digambarkan
bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa suatu saat nanti
akan ada wanita yang bepergian dari Hirah ke
Makkah sendirian tanpa takut dari ancaman apapun. Dan
bahwa seorang wanita akan berjalan sendirian, menembus
gelapnya malam dan melintasi padang pasir tak
bertepi, tetapi dia sama sekali tidak takut atas ancaman
apapun. Dengan amat jelasnya penggambaran
nabi SAW ini, menurut para ulama, hal itu tidak
lain menunjukkan hukum kebolehan seorang wanita
bepergian sendirian ke luar kota, tanpa mahramatau
juga suami.
Dengan demikian, keberadaan mahram atau suami dibutuhkan hanya pada saat tidak adanya keamanan saja. Ini adalah pendapat yang didukung oleh Al-Imam Malik. Al-Imam Asy-Syafi`i, Daud Azh-Zhahiri, Hasan Al-Bashri, Al-Mawardi dan lainnya. Bahkan Al-Imam Asy-syafi'i dalam salah satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Semua mensyaratkan satu hal saja, yaitu amannya perjalanan dari fitnah.
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan bila aman dari fitnah, para wanita boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah (bisa dipercaya).
Dengan demikian, keberadaan mahram atau suami dibutuhkan hanya pada saat tidak adanya keamanan saja. Ini adalah pendapat yang didukung oleh Al-Imam Malik. Al-Imam Asy-Syafi`i, Daud Azh-Zhahiri, Hasan Al-Bashri, Al-Mawardi dan lainnya. Bahkan Al-Imam Asy-syafi'i dalam salah satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Semua mensyaratkan satu hal saja, yaitu amannya perjalanan dari fitnah.
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan bila aman dari fitnah, para wanita boleh bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah (bisa dipercaya).
Sedangkan Al-Mawardi dari ulama
kalangan As- Syafi'iyah mengatakan bahwa
sebagian dari kalangan pendukung mazhab As-syafi'i
berpendapat bahwa bila perjalanan itu aman dan tidak ada
kekhawatiran dari khalwat antara laki dan
perempuan, maka para wanita boleh bepergian tanpa mahram
bahkan tanpa teman seorang wanita yang tsiqah.
Namun semua itu hanya berlaku
untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib.
Sedangkan yang hukumnya sunnah,hukum kebolehannyatidak
berlaku. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang
menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang
pergi haji dari kota Hirah ke Makkah dalam keadaan
aman.
Selain itu pendapat yang
membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan
dalil bahwa para isteri nabi pun pergi haji di
masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani
Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Demikian
disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari.
Ibnu Taimiyah sebagaimana yang
tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa
wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah.
Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji
maka hajinya syah.
Perjalanan
di Luar Haji
Semua perbedaan pendapat di atas
masih dalam koridor pergi haji bagi wanita
tanpa mahram. Lalu bagaimana dengan bepergiannya
wanita tanpa mahram tapi bukan untuk haji. Dalam hal
ini para ulama sekali lagi berbeda pendapat.
- Sebagian ulama yang membolehkan wanita bepergian sendirian, hanya membolehkan untuk haji yang wajib. Sedangkan haji yang hukumnya sunnah, bukan wajib, maka hukumnya tetap tidak boleh.
- Sebagian lainnya mengatakan bahwa kebolehan wanita bepergian tanpa mahram itu hanya khusus untuk ibadah haji saja, sedangkan bila di luar kepentingan pergi haji, maka hukumnya tetap tidak boleh kecuali harus dengan mahram
- Sebagian lainnya lagi mengqiyaskan kebolehan pergi yang bukan haji dengan kebolehan haji di atas.
Sehingga bagi mereka, semua
bentuk perjalanan yang hukumnya halal, wania boleh
bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan aman
dari fitnah, atau ditemani oleh sejumlah wanita
yang tsiqah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
*Ahmad
Sarwat, Lc.