Nikah Beda Agama Sulit Bangun Keluarga Sakinah

Advertisement
Nikah Beda Agama Sulit Bangun Keluarga Sakinah

FIQH AKTUAL | Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai pernikahan beda agama akan menyulitkan pembangunan keluarga sakinah. Ia pun mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi pernikahan beda agama pasal 2 ayat 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Mu'ti menilai keluarga memiliki dampak dalam pembangunan bangsa ini. Ia menilai keluarga harus kuat bila ingin banga ini kuat.

"Kalau keluarga lemah bangsa akan lemah," kata Mu'ti ketika dihubungi ROL, Ahad (21/6).

Ia menyatakan, berdasarkan ajaran Islam, pernikahan itu bertujuan untuk membangun keluarga yang sakinah. Oleh karena itu, secara teoritis, tujuan itu sulit tercapai jika pasangan yang menikah berbeda agama. 

Mu'ti mengaku pernikahan adalah bagian dari proses regenerasi. Banyak kasus dari pernikahan beda agama, kata Mu'ti mengakibatkan masalah terutama terkait pendidikan agama bagi anak.

Selain itu, kata dia, kerap terjadi perceraian yang diakibatkan perkawinan beda agama. Mu'ti menilai hal ini penting untuk mewujudkan keluarga sebagai institusi sosial dalam pembangunan kekuatan bangsa.

Menag: Nilai-Nilai Agama dan Pernikahan tak Bisa Dipisahkan
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengaku sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi pernikahan beda agama Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ia mengatakan, pernikahan adalah suatu peristiwa sakral. Sehingga pernikahan harus dilangsungkan sesuai dengan ketentuan agama yang dianut calon mempelai.

"Karena pernikahan adalah peristiwa sakral sehingga nilai-nilai agama tidak bisa dipisahkan dari peristiwa itu," ujar Lukman kepada ROL, Ahad (21/6).

Ia menjelaskan, Indonesia menempatkan agama sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari praktek kehidupan bermasyarakat. Sehingga pernikahan bukan hanya peristiwa hukum semata melainkan juga peristiwa ritual kegamaan dan bagian dari ibadah.

Menurutnya, tidak bisa dipungkiri ada sebagian pihak yang menghendaki pernikahan tidak harus dikaitkan dengan agama. Tentu kita menghormati pemikiran tersebut. Namun penghormatan dan penghargaan yang diberikan tidak dimaknai sebagai persetujuan.

"Masyarakat Indonesia dikenal sangat menjunjung tinggi nilai agama. Maka pemisahaan agama dalam pernikahan sesuatu yang tidak dimungkinkan," katanya.

Pemerintah Diminta Awasi Praktik Nikah Beda Agama
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti meminta pemerintah untuk menangani praktik beda agama yang masih terjadi. Menurut Mu'ti, ini merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi pernikahan beda agama pasal 2 ayat 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

"Aparatur pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri harus berusaha lebih tegas menangani praktik-praktik nikah beda agama," kata Mu'ti ketika dihubungi Republika, Ahad (21/6).

Mu'ti mengatakan, UU Perkawinan dan kompilasi hukum Islam sudah sejalan terkait pernikahan beda agama. Ia menjelaskan, UU Perkawinan menyatakan bahwa pernikahan dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan agama kedua mempelai. Sementara menurut hukum Islam, kata Mu'ti, pernikahan beda agama haram.

Mu'ti lantas mendorong implementasi undang-undang itu di lapangan. Menurutnya, saat ini kerap terjadi praktik menyiasati UU Perkawinan. Modus yang pertama, kata Mu'ti, dengan menyiasati Pasal 56 UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut disebutkan perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia sah jika dilakukan berdasarkan hukum negara tersebut.

"Sekarang banyak terjadi pasangan nikah di luar negeri lalu bukti pernikahan itu dibawa ke Indonesia," kata Mu'ti.

Modus kedua, kata Mu'ti, salah satu dari kedua mempelai memutuskan pindah agama demi menyiasati UU Perkawinan. Setelah itu, jelasnya, orang itu kembali ke agamanya.

Mu'ti meminta pemerintah untuk memberikan edukasi terhadap masyarakat. Ini karena masyarakat justru cenderung berupaya memanfaatkan celah hukum. Padahal, kata Mu'ti, nikah beda agama kerap menimbulkan masalah. "Ini sering menimbulkan permasalahan terutama terkait kehidupan anak dan rumah tangga," katanya.