Bahagia dan Mulia dengan Kembali ke Rumah

Advertisement
Bahagia dan Mulia dengan Kembali ke Rumah


FIQH AKTUAL | Gerakan feminisme di Barat telah dianggap sukses dengan lahirnya para wanita yang seolah-olah sejajar dengan pria (baca: di luar rumah). Karena itulah, PBB pada tahun 1975, merakayakan  apa yang disebut dengan ‘peringatan seluruh perempuan di dunia dalam keberhasilan di bidang ekonomi, sosial, dan politik’.

Virus materialisme ini semakin mengganas menyerang kaum Muslimin dan menggerogoti keluarga-keluarga Islam. Ditambah lagi dengan semakin maraknya propaganda ide keadilan dan kesetaraan gender yang dimotori kaum feminis dengan dukungan media massa.

Di Indonesia, misalnya, lahir Undang-Undang No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Meski coraknya berbeda, cita-citanya sama, yaitu kesetaraan peran wanita dengan pria di rumah, kantor, pemerintahan dan lain-lain. Kesetaraan yang dimaksud di sini adalah pembagian peran 50 : 50.

Itulah yang dimaksud kesetaraan gender. Feminis meyakini bahwa wanita sama seperti pria, wanita memiliki kebebasan mutlak atas tubuh, diri, dan hidupnya. Wanita bebas memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.

Susan J. Douglas dan Meredith W. Michaels, penulis buku The Myth Mommy, merujuk pada "momism baru." Mereka menggambarkan bagaimana media telah menciptakan ideal seolah-olah seorang ibu bisa "melakukan semuanya". Dari kesejahteraan, pendanaan, pendidikan prasekolah hingga perawatan anak dll).

Melalui media, kaum feminis bentukan Barat  mengesankan ibu yang bekerja di luar rumah sangatlah penting dan dibutuhkan.  Namun jika  karena tuntutan pekerjaan yang dibayar membuat pekerjaan rumah tangga, sebagai istri dan ibu mereka gagal, ujungnya,  hanya dianggap kegagalan pribadi mereka sendiri.

Lebih dari 30 tahun lamanya gerakan pembebasan perempuan oleh kaum feminism mengangkat harapan dan harapan dari generasi perempuan. Gerakan ini ‘menantang’ gagasan yang seharusnya berlaku, di mana para perempuan seharusnya menghabiskan seluruh hidup mereka untuk berada dan dekat dengan keluarga rumah serta membesarkan anak-anaknya.

Lihatlah hasil yang telah mereka kampanyekan:
  1. Empat dari sepuluh wanita Amerika yang bekerja malam  dan akhir pekan secara teratur.
  2. 61 persen untuk wanita Amerika Afrika dan 53 persen untuk wanita Latin.
  3. 1/3 perempuan ini bekerja shift yang berbeda dari mitra mereka.
  4. 63 persen dari wanita bekerja lebih dari empat puluh jam per minggu
  5. Tak mengherankan jika  82 persen orang tua (baik perempuan dan laki-laki) melaporkan merasa waktunya "habis pada akhir hari" yang membuat sering stres luar biasa karena terbagi antara keluarga dan bekerja, hal itu juga menunjukkan krisis besar yang mempengaruhi wanita dan anak-anak mereka.
  6. Selain itu, paham kebebasan yang digaungkan kaum feminisme Barat melahirkan tatanan keluarga yang kacau balau. Misalnya kerusakan tatanan yang dengan bangganya disebut sebagai ‘kecenderungan menuju keragaman keluarga’. Hari,  kita saksikan di mana keluarga dapat dipimpin oleh pasangan rusak seperti; gay (seorang homo) atau lesbian. Atau pasangan yang belum menikah atau kombinasi biologis dan orangtua tiri.


Melihat kondisi ini wajar jika muncul kesimpulan, feminisme telah gagal untuk merespon secara efektif terhadap serangan meningkat pada perempuan. Kegagalan ini juga sering ‘diralat’ orang-orang Barat sendiri. Sebuah polling yang dilakukan Public Agenda Pool berjudul "Child Care: Red Flags" tahun 2000 menunjukkan 70 persen masyarakat mengatakan bahwa mereka merasa salah satu orang tua di rumah adalah pengaturan perawatan anak.

Sebuah majalah wanita, Genius Beauty memberitakan, psikolog dan sosiolog Inggris mengemukakan sebagian besar wanita Inggris abad ini berharap bisa hidup dengan orang yang dicintainya. Hal ini berdasarkan penelitian gabungan terhadap wanita pekerja di Inggris.

Hasilnya, 70% wanita menginginkan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama pasangan mereka.  Sedangkan 64% dari lainnya ingin mendapatkan keduanya, yaitu keluarga dan karier berjalan seiring.

Tanggapan ini mencerminkan sejauh mana orang telah menerima ide bahwa anak-anak perlu ibu mereka di rumah.

Yang terbalik justru di Indonesia, bahkan –sekali lagi dengan dukungan media massa--  selain bangga berada di luar rumah, para kaum feminis juga menuntut 30 persen quota keterwakilan di parlemen. Memang juga quota terpenuhi mau apa? 

Tugas Utama seorang Istri

Memang tidak semua wanita yang memilih berkarir semata-mata karena malu menjadi ibu rumah tangga atau dengan alasan semata-mata ingin dianggap setara dengan pria. Sebagian karena situasi dan kondisi yang mengharuskan ikut turun ke medan kerja, untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang boleh jadi belum bisa diatasi seorang diri oleh suami.

Namun jika betul alasa yang terakhir itu, maka, jika pada saat yang tepat, di mana berada di luar rumah sudah tidak memungkinkan –bahkan telah banyak melahirkan fitnah-- kaum wanita sebaiknya ingat tugas utama sebagaimana Islam telah menegaskan dalam banyak surat dalam al-Quran dan al hadits.

Tugas atau peran utama yang harus dijalankan oleh seorang Muslimah adalah sebagai istri dan ibu adalah mengurus rumah tangga, mendidik anak, menjaga harta suami, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah yang tak kalah beratnya dari pekerjaan suami untuk memenuhi nafkah.

Bahkan jika memiliki bayi, maka tugas utama seorang ibu adalah menyusui anaknya. Dalam Islam, paling minim selama dua tahun dianggap sempurna penyusuannya.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…..” (QS: al-Baqarah [2]: 233).

Adapun kewajiban mencari nafkah, Islam tidak memberikan beban tersebut kepada istri, tetapi dibebankan kepada suami.

وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak seperti yang diperintahkan dalam ayat diatas. Dan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak berlaku meski suami miskin atau istri dalam keadaan kaya atau berkecukupan.

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah ‎ berikan kepadanya. ‎Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS: ath Thalaq [65]: 7).

Keuntungan Menjadi Ibu Rumah Tangga

Ada banyak keuntungan menjadi ibu rumah tangga yang lingkupnya tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat.

Pertama, sehat


Seorang ibu yang mengasuh buah hatinya sendiri cenderung akan lebih sehat. Karena seorang ibu apalagi yang masih menyusui akan dihadapkan dengan kondisi-kondisi tertentu yang seringkali memaksanya untuk jalan cepat, berlari, atau bergerak sigap.

Misalnya bayi sedang menangis, maka secara spontan seorang ibu akan pergi berlari menuju bayi mungilnya. Kejadian seperti itu boleh jadi berlangsung sepanjang hari. Kesigapan seorang ibu saat bangkit dari kursi dan berlari menghampirinya bisa melatih daya tahan ibu (endurance).

Lebih dari itu ketika bayi sudah berumur enam bulan ke atas, biasanya seorang ibu akan tertarik untuk bermain dengan bayinya. Seorang ibu akan dibuat gemas oleh bayinya ketika tersenyum atau mungkin tertawa, sehingga merangsang ibu untuk mengabil bayinya kemudian mengayunnya seperti pesawat, bermain kuda-kudaan, atau mengelitikinya. Aktivitas semacam itu akan terjadi dalam keseharian seorang ibu, dan itu berarti seorang ibu telah melakuakan latihan fleksibilitas.{/AF}

Kedua, lebih mulia


Dalam Islam, seorang ibu adalah manusia pertama dan utama yang harus ditaati, dipatuhi dan dihormati oleh seorang anak. Jadi, Islam menempatkan kaum ibu sebagai manusia paling mulia di muka bumi ini.

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau” (HR. Bukhari).

Sementara itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman;

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS: Luqman [31]: 14).

‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenama engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’ “Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.” (HR. Bukhari).

Ketiga, lebih bahagia


Menjadi ibu rumah tangga sangat berpotensi menjadi bahagia dunia-akhirat, terkhusus jika anak-anak yang dididiknya tumbuh menjadi orang yang sholeh dan sholehah. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh ibunda dari Imam Syafi’i dan Imam Bukhari.

Kedua ulama itu besar dengan bimbingan seorang ibu yang tekun dan sabar dalam mendidik putranya, sehingga keduanya tumbuh dewasa menjadi manusia ‘penyelamat’ ajaran Islam. Dari kedua tangan ulama besar itu, lahirlah berbagai macam kitab yang sangat dibutuhkan umat manusia hingga akhir zaman.

Rasulullah bersabda, "Apabila seorang anak Adam mati putuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah atau ilmu yang memberi manfaat kepada orang lain atau anak yang sholeh/sholihah yang berdoa untuknya (kedua orangtua).” (HR: Muslim). [baca juga: Menjadi Ibu Rumah Tangga Ternyata Membahagiakan]

Masalahnya, bagaimana mungkin kita bisa melahirkan anak-anak impian itu jika kedua orangtuanya sama-sama sibuk di luar rumah, sementara anak bagaikan kendaraan yang hanya sekedar dititipkan di tempat penitipan?

Ada pesan menarik dari  Prof Dr KH Didin Hafiduddin, mewakili juru bicara Komisi Tausyiah saat memaparkan salah satu rekomendasi bidang sosial budaya dan pendidi-kan dari Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung 13 Desember  2004.

Begini katanya, “Sebagai ibu, jangan merasa bangga banyak di luar rumah, tetapi merasa gengsi mendidik anak di rumah.''

Inilah salah satu rekomendasi MUI kepada seluruh masyarakat –khususnya kepada para ibu-- untuk melakukan “Gerakan Kembali ke Rumah” atau yang disebut MUI dengan istilah al ruju' ila al usroh (kembali ke rumah),  sebagai wahana pendidikan pertama dan utama untuk membentengi anak dari serbuan budaya yang merusak akhlak.

Sebab  mendidik anak hingga mereka menjadi orang yang shalih dan shalihah adalah satu-satunya investasi terbesar dalam hidup sebagai bekal kita menuju hidup baru di akherat. Maka, adakah alasan lain yang akan dikemukakan?