Balasan tak Terduga

Advertisement
Balasan tak Terduga

FIQH AKTUAL | Pak Hasan bukanlah orang kaya. Ia hanya seorang petani biasa dengan beberapa petak sawah. Istrinya juga bukan seorang pedagang. Ia hanya ibu rumah tangga biasa yang membantu pekerjaan suaminya. Apa yang dijalankan Pak Hasan bersama istrinya tidak jauh dari sawah, masjid, rumah, dan pengajian rutin di desanya. 

Suatu hari, ketika pisang di sawahnya sudah siap dipanen, suami istri itu berembuk, "Akan diberikan kepada siapa setandan pisang itu?" Keduanya kemudian sepakat akan memberikan kepada seorang ustaz yang sering mengisi majelis taklimnya. Ustaz itu tinggal di desa sebelah. Saat tiba waktunya, dengan sepeda ontelnya yang sederhana ia membawa setandan pisang. Istrinya berjalan di belakangnya hingga sampai di rumah sang ustaz.

Setelah bercengkerama sejenak, Pak Hasan dan istrinya pun dijamu makan siang. Sementara itu, sang ustaz bersama istrinya sibuk menyiapkan balasan kebaikan bagi tamunya. Rupanya, tidak ada lagi yang bisa dibawakan kecuali seekor anak kambing, pemberian dari salah seorang jamaahnya juga. Dengan penuh bahagia, ia membawa pulang anak kambing sambil tidak habis-habisnya membicarakan kebaikan sang ustaz.

Di tengah jalan, Pak Hasan bertemu dengan salah seorang tetangganya dan menanyakan tentang anak kambing yang dibawanya. Si lelaki itu kemudian berpikir, kalau bawa setandan pisang saja dibalas dengan anak kambing, apalagi kalau bawa seekor kambing.

Keesokan harinya, lelaki itu membawa seekor kambingnya ke ustaz. Saat lelaki itu sedang menikmati sajian makan siang, sang ustaz bilang kepada istrinya, "Sayang, cepat sekali Allah membalas kebaikan seseorang. Baru kemarin bersedekah, sekarang sudah diganti dengan yang lebih besar. Subhanallah." Begitu keduanya berhusnuzan kepada Allah.

Sang ustaz pun mencari sesuatu yang bisa diberikan kepada tamunya. Karena adanya hanya setandan pisang, itulah yang dibawakan kepada tamunya. Bagi sang lelaki, hal ini bisa jadi mengecewakan karena tidak sesuai dengan harapannya.

Kisah yang populer di kalangan pesantren ini sesungguhnya hendak mengatakan bahwa ketulusan dan keikhlasan itu indah dan hanya Allah yang akan memberi balasannya. Seseorang yang ikhlas tidak mengharap balasan maupun sekadar ucapan terima kasih dari siapa pun. Ia hanya ingin mengharap ridha Allah (QS al-Insan: 9). Semua dipasrahkan kepada-Nya.

Sangat mungkin, Allah akan langsung membalasnya di dunia tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya di akhirat nanti. Dan, tentu saja, Allah Maha Tahu atas niat hamba-Nya. Allah memberi rezeki dan balasan kepada orang yang bertakwa dan ikhlas dari jalan dan pintu yang tidak pernah ia duga. (QS ath-Thalaq: 3).

Jika tidak dalam bentuk yang sama dengan kebaikan yang dilakukan hamba-Nya maka kebaikan dan balasan Allah itu akan berubah bentuk dengan kebaikan yang lain. Kebaikan itu ibarat energi positif yang tidak akan pernah hilang, tapi akan berubah dan berkembang menjadi kebaikan-kebaikan yang lain. 

Bisa dibayangkan, "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui." (al-Baqarah: 261).

Mengharap balasan dari sesama manusia sering kali menyisakan kekecewaan. Manusia terlalu lemah dan banyak kekurangan. Terlebih lagi, sandaran duniawi selalu tidak pernah memuaskan. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan secara sempurna. Wallahu a'lamu.