Hukum Bedah Mayat
Advertisement
Fiqh Aktual | Untuk satu
keperluan tertentu, terkadang dokter terpaksa harus
melakukan pembedahan pada jasad manusia yang telah
menghembuskan nafas terakhirnya. Jasad manusia
tentu berbeda dengan jasad hewan, yang boleh dibuang,
dipendam atau kalau memang matinya dengan
disembelih dan hewan itu halal, justru boleh dimakan.
Otopsi forensik yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau
Maka dibolehkan hukumnya untuk membedah perut mayat itu meski harus melanggar larangan Allah.
Tetapi jasad
manusia tentu jauh berbeda. Ada banyak urusan fiqih
terkait dengan jasad itu, misalnya wajib dikuburkan,
setelah sebelumnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan.
Dan para ulama sepakat bahwa semua itu hukumnya
merupakan fardhu kifayah, dimana bila ada mayat seorang
muslim yang tidak dimandikan, dikafani atau dikuburkan,
maka berdosalah semua orang yang ada di sekitarnya.
Lalu bagaimana
pandangan syariat Islam atas praktek yang sulit
ditinggalkan ini? Apa ketentuan dan syarat sekaligus
aturan main dalam masalah ini?. Kita akan membahasnya
secara lebih detail nanti setelah kita awali dengan
pengertian. Biasanya tujuannya untuk kepentingan hukum,
penelitian atau pengajaran.
Pengertian
1.
Otopsi
Bedah mayat
sering juga juga disebut dengan istilah otopsi, atau
dalam bahasa Arab disebut dengan jirahah
attasyrih ( .(جراحة )( التشریح Istilah otopsi
kalau ditelusuri berasal dari bahasa Yunani yang berarti :
“melihat dengan mata sendiri”. Selain itu juga ada istilah
yang berdekatan yaitu "nekropsi", juga berasal
dari bahasa
Yunani dan artinya "melihat mayat."
2.
Sejarah
Salah satu
versi tentang tentang awal mula sejarah pembedahan dan
pemisahan organ jenazah adalah apa yang telah dilakukan
oleh manusia pada 3000 tahun SM oleh bangsa Mesir
Kuno dalam praktek mumifikasi. Pembedahan mayat yang
digunakan untuk autopsi sendiri bermula pada sekitar awal
millenium ketiga SM, walaupun sebenarnya hal ini berlawanan
dengan norma masyarakat saat itu yang
menganggap
pengrusakan terhadap tubuh jenazah akan menghalanginya
ke akhirat.
Konsep ilmu
forensik modern saat ini bagaimanapun juga tidak
bisa dilepaskan dari jasa-jasa orang-orang di zaman dahulu.
Buku berjudul “Xi Yuan Lu” , ditulis oleh Song Ci (1186–1249)
pada masa Dinasti Song -tepatnya tahun 1248- adalah
salah satu tulisan pertama tentang penggunaan obat atau zat
kimia dan Entomology untuk menemukan penyebab suatu
kematian.
Buku ini juga
memberikan nasihat tentang bagaimana membedakan
antara korban yang tewas karena tenggelam atau
pencekikan, bersama dengan bukti-bukti lain dari hasil pemeriksaan
mayat yang pernah dilakukan untuk menentukan
apakah kematian disebabkan oleh pembunuhan, bunuh diri,
atau kecelakaan.
Sejarah
mencatat bangsa Romawi Kuno telah membuat peraturan
tentang autopsi sekitar 150 SM. Pada tahun 44 SM, jenazah Julius
Caesar adalah salah satu yang beruntung menjadi obyek
resmi autopsi, dimana belakangan para autopsist
menemukan bahwa tusukan kedua pada tubuhnya lah yang fatal
sehingga berakibat pada kematian.
Yunani kuno pada abad ketiga SM juga memiliki 2 orang autopsist handal dan terkenal, Erasistratus dan Herophilus Khalsedon yang tinggal di Alexandria. Tetapi secara umum autopsi kurang begitu dikenal di Yunani kuno. Selain mereka, pembedahan jenazah untuk alasan medis juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain misalnya seperti yang dilakukan dokter muslim seperti Ibnu Rusydi dan Ibnu al-Nafis.
Yunani kuno pada abad ketiga SM juga memiliki 2 orang autopsist handal dan terkenal, Erasistratus dan Herophilus Khalsedon yang tinggal di Alexandria. Tetapi secara umum autopsi kurang begitu dikenal di Yunani kuno. Selain mereka, pembedahan jenazah untuk alasan medis juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain misalnya seperti yang dilakukan dokter muslim seperti Ibnu Rusydi dan Ibnu al-Nafis.
Proses autopsi
modern berasal dari para anatomis dari Renaissance.
Giovanni Morgagni (1682-1771), yang dikenal sebagai bapak
patologi anatomi, menulis karya lengkap pertama pada
patologi, “De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen
Indagatis”.
Sedangkan
sidik jari mulai digunakan untuk bukti ketika Juan Vucetich
memecahkan kasus pembunuhan di Argentina dengan
memotong sebagian dari pintu dengan sidik jari berdarah di
atasnya.
Di Eropa abad
keenam belas, praktisi medis ketentaraan dan
universitas mulai mengumpulkan informasi tentang sebab dan cara
kematian. Ambroise Pare, seorang ahli bedah tentara
Prancis, mempelajari efek kematian karena kekerasan pada organ
internal.
Dua ahli bedah
Italia, Fortunato Fidelis dan Paolo Zacchia,
membangun fondasi munculnya patologi modern dengan
mempelajari perubahan yang terjadi dalam struktur tubuh akibat
penyakit.
Pada tahun
1776, kimiawan Swedia Carl Wilhelm Scheele menemukan cara
untuk mendeteksi oksida arsenous alias arsenik, di
mayat meskipun hanya dalam kasus arsenik yang berjumlah
besar. Penyelidikan ini diperluas, pada tahun 1806, oleh kimiawan
Jerman Valentin Ross, yang mempelajari cara mendeteksi
racun pada dinding perut korban, dan oleh ahli kimia Inggris
James Marsh, yang menggunakan proses kimia untuk
mengkonfirmasi penggunaan arsenik dalam suatu percobaan
pembunuhan di tahun 1836.
Tiga Macam Bedah Mayat
Dilihat dari
kepentingannya, secara umum kita dapat membagi otopsi
menjadi tiga macam.
1.
Otopsi Forensik
Otopsi forensik yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau
kematian yang
mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian,
menentukan identitasnya, dan sebagainya. Di dalam
Al-Quran ada kisah yang memberi isyarat tentang
penelitian atas identitas pembunuh dari korban yang sudah jadi
mayat. Surat yang kedua di dalam Al-Quran Al-Kariem dinamai
surat Al-Baqarah karena di dalamnya ada kisah tentang
perintah Allah SWT kepada Bani Israil untuk menyembelih
seekor sapi betina. Untuk apa ceritanya sapi itu harus
disembelih, sampai kemudian kisah itu sedemikian menghebohkan,
sampai dijadikan nama surat dalam Al-Quran?
Kisahnya
sebagaimana dituliskan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam
tafsir beliau, Fathul Qadir, bahwa kisah ini dilatar-belakangi
dari pembunuhan seorang keponakan atas pamannya.
Motifnya karena si keponakan tidak sabaran ingin segera
mendapatkan harta warisan sang paman yang memang tidak
punya anak. Mayat sang paman kemudian diletakkan
begitu saja di depan pintu rumah orang yang tidak tahu
menahu urusan. Hingga gemparlah masyarakat bertanya-tanya
tentang siapa pembunuhnya.
Lalu mereka
sepakat untuk meminta petunjuk kepada Nabi Musa
alaihissalam, dimana jawabannya adalah perintah dari Allah SWT
kepada Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi
betina. Lalu bagian dari tubuh sapi itu dipukulkan ke
tubuh mayat itu, tiba-tiba mayat itu hidup lagi dan membuat
pernyataan bahwa keponakannya itulah yang membunuhnya.
Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (QS. Al-Baqarah : 72)
Ayat ini
memang tidak bicara tentang bedah mayat, namun mayatnya
justru bisa berbicara menjelaskan siapa yang telah
membunuhnya. Bedah forensik hari ini seolaholah membuat jasad
mayat itu bisa berbicara, karena dengan pembedahan
seperti ini, semua penyebab kematiannya bisa
dipecahkan
dengan mudah.
Otopsi forensik biasanya dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah:
Otopsi forensik biasanya dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah:
- Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
- Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian
- Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti
- Untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
- Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.
2.
Otopsi Klinis
Otopsi klinis
yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait
dengan penyakit. Misal jenis penyakit sebelum mayat
meninggal.
Berbeda dengan
otopsi forensik, biasanya otopsi ini dilakukan bukan
untuk mencari siapa pembunuhnya, melainkan
untuk mengetahui oleh sebab apa seseorang meninggal
dunia.
Jadi otopsi
ini dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi
akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan
penyebab kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian
antara diagnosis klinis dan
diagnosis postmortem,Pathogenesis penyakit, dan
sebagainya.
Otopsi klinis
biasanya dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli
waris, dan kadang ada kalanya ahli waris sendiri yang
memintanya.
3.
Otopsi Anatomis
Otopsi
anatomis adalah otopsi yang dilakukan mahasiswa
kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. Tujuannya
semata-mata untuk ilmu pengetahuan, dimana para calon
dokter mau tidak mau harus mengenal betul seluk-beluk
anatomi tubuh manusia luar dan dalam. Biasanya bahan
yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit
yang setelah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium
ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang
mengakuinya.
Setelah
diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan
sekurang-kurangnya satu tahun sebelum
digunakan
untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat
dipertanggung-jawabkan, sebab warisan yang tak ada yang
mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun
(KUHPerdata pasal 1129).
Ada kalanya,
seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada
fakultas kedokteran, sesuai dengan KUHPerdata
pasal 935.
Dalil Syar’i Pembedahan Mayat
Kita tidak
menemukan dalil yang sharih (tegas) baik di dalam Al-Quran
Al-Kariem atau hadits-hadits nabawi semua hal yang
terkait secara langsung dengan masalah otopsi mayat.
Barangkali karena otopsi seperti di zaman sekarang ini belum lagi
dikenal di masa lalu.
Yang kita
temukan hanya dalil-dalil secara umum dari sunnah
nabawiyah tentang larangan merusak tulang mayat seorang
muslim. Selain itu kita menemukan berbedaan pendapat di
antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat.
- Mematahkan Tulang Jenazah Muslim
Hadits yang
melarang kita merusak jasad mayat yang telah
meninggal dunia adalah:
Dari Jabir ra berkata, "Aku keluar bersama Rasulullah SAW mengantar jenazah, beliau duduk di pinggir kuburan dan kami pun juga demikian. Lalu seorang penggali kubur mengeluarkan tulang (betis atau anggota) dan mematahkannya (menghancurkannya). Maka nabi SAW bersabda, "Jangan kamu patahkan tulang itu.
Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang telah menjadi mayat sama saja dengan mematahkan sewaktu masih hidup. (HR Malik, Ibnu Majah, Abu Daud)
- Membedah Perut Mayat
Sedangkan
perbedaan pendapat di kalangan ulama klasik tentang
membedah perut mayat, kita dapati dalam kitab-kitab
mereka. Hanya saja masalah juga tidak sama persis dengan
kasus otopsi. Mereka membedah perut mayat bila mayat itu
menelan harta atau di dalamnya ada janin yang diyakini
masih hidup.
Para ulama di
kalangan mazhab Al-Hanafiyah menuliskan
dalam kitab-kitab mereka tentang kebolehan
membedah perut
seseorang yang telah wafat dan diyakini bahwa di dalam
perutnya ada harta benda. Dengan syarat
bahwa harta di dalam perut mayati itu milik orang
lain, sedangkan mayat itu tidak punya harta yang
ditinggakan untuk mengganti harta milik orang lain itu.
Maka
dibolehkan saat itu untuk mengeluarkan harta dari perutnya untuk
melunasi hak orang lain.
Kebolehan itu
dilandasi sebuah kaidah bahwa hak adami harus
didahulukan dari pada hak Allah. Mengembalikan harta orang
lain itu adalah hak adami, sedangkan menjaga mayat agar
tidak dirusak adalah hak Allah (larangan Allah). Maka dibolehkan hukumnya untuk membedah perut mayat itu meski harus melanggar larangan Allah.
Bahkan ulama
di kalangan mazhab Asy-Syafi''iyah berpendapat
lebih jauh. Bagi mereka, kebolehan membedah perut mayat
dan mengambil harta di dalamnya tidak harus dengan syarat
untuk mengembalikan hak orang lain. Bahkan bila harta itu
memang milik si mayat tersebut sekalipun,
hukumnya tetap
boleh dibedah dan diambil.
Pendapat para
ulama Al-Malikiyah kira-kira tidak jauh berbeda dengan
kedua mazhab di atas. Sedangkan mazhab Imam Ahmad
menolaknya.
- Kebolehan Membedah Perut Wanita Hamil yang Meninggal
Di dalam
literatur fiqih klasik juga kita dapati pandangan para
ulama tentang hukum membedah perut wanita hamil
yang meninggal. Perkara ini sedikti banyak juga ada
kaitannya dengan masalah otopsi, meski tidak terlalu mirip.
Mazhab
Al-Hanafiyah dna Asy-Syafi'iyah mengatakan dibolehkan
membedah perut wanita hamil yang meninggal dunia, asalkan
diyakini janin di dalam perutnya itu masih hidup. Hal itu
lebih diutamakan demi menyelamatkan nyawa manusia
hidup, meski harus dengan merusak mayat. Namun mazhab
Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah tidak membolehkan
hal itu.
Fatwa Yang Membolehkan
Berangkat dari
dalil-dalil di atas serta ijtihad tentang bedah perut
mayat oleh para ulama di masa lalu, kini para ulama modern
mengambil kesamaan ‘illat dengan bedah mayat.
Ketika
menetapkan hukum kebolehan untuk melakukan otopsi,
sebagian besar ulama dan umumnya
memperbolehkannya,
asalkan terpenuhi semua syarat dan ketentuannya.
Namun ada juga sebagian lain yang mengharamkannya.
Para ulama yang membolehkan otopsi beralasan
bahwa alasan otopsi diperlukan secara nyata, antara lain
untuk dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang
keamanan, keadilan, dan kesehatan.
Setidaknya ada
empat pihak yang berkompeten dalam masalah ini
yang telah memberikan lampu hijau untuk dibolehkannya
bedah mayat ini, antara lain :
- Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
Lembaga ini
pada Daurah yang kesembilan di tahun 1976 M – 1397
H telah memberikan fatwa atas kebolehan praktek bedah
mayat ini.
- Majma’ Fiqih Islami di Mekkah Al-Mukarramah
Lembaga yang
berpusat di Mekkah Al-Mukarramah Kerajaan Saudi
Arabia ini juga termasuk mengeluarkan fatwa atas keboleh
praktek bedah mayat, pada Daurah yang kesepuluh pada
bulan Shafar tahun 1408 hijriyah bertepatan dengan 17 Otober
1987.
- Lajnah Al-Ifta’ Kerajaan Jordan Al-Hasyimiyah
Lembaga fatwa
milik kerajaan Jordan ini mengeluarkan fatwa atas
kebolehan bedah mayat pada tanggal 20 Jumada-Al-Ula 1397
hijriyah.
- Lajnah Al-Ifta’ di Al-Azhar Mesir
Lembaga ini
telah mengeluarkan fatwa kebolehan melakukan
bedah mayat pada tahun 29 Pebruari 1971.
- Para Ulama Secara Pribadi
Sedangkan
secara pribadi-pribadi, cukup banyak pula para ulama
yang mengeluarkan fatwa atas kebolehan bedah mayat ini,
diantaranya As-Syeikh Hasanain Makhluf, Profr. Dr. Muhammad
Said Ramadhan Al-Buthi, As-Syeikh Ibrahim Al-Ya’qubi
(alm), Dr. Mahmud Nadzhim An-Nusaimi, Dr.
Muhammad Ali
As-Sarthawi dan lainnya.
Fatwa Yang Mengharamkan
Pendapat kedua
adalah pendapat yang mengharamkan otopsi.
Alasannya karena otopsi pada hakikatnya melanggar kehormatan
mayat, yang telah dilarang berdasarkan sabda Nabi SAW:
Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang telah menjadi mayat sama saja dengan mematahkan sewaktu masih hidup. (HR Malik, Ibnu Majah, Abu Daud)
Ini pendapat
Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi’i, dan
Hasan As-Saqaf.
- Ketetapan Majma' Fiqih Islami
Majma' Fiqih
Islami, sebuah institusi para ulama dunia yang berada di
bawah bendera Rabithah 'Alam Islami dalam sidang di
Mekah Al-Mukarramah pada tanggal 17 Otober 1987 telah
mengeluarkan ketetapan tentang masalah yang anda tanyakan.
1.
Pertama
Dibolehkan
melakukan otopsi terhadap mayat selama bertujuan
salah satu dari hal-hal di bawah ini:
Kepastian
tuduhan yang bersifat kriminal untuk mengetahui
penyebab kematian seseorang. Hal itu apabila hakim
kesulitan untuk memastikan penyebab kematian.
Kecuali hanya
dengan jalan otopsi saja. Kepastian
tentang penyebab suatu penyakit yang hanya bisa
dibuktikan lewat otopsi. Demi untuk mendapatkan kejelasan
penyakit tersebut serta menemukan obat
penangkalnya. Untuk
pengajaran kedokteran dan pembelajarannya, yaitu seperti
yang dilakukan di fakultas-fakultas kedokteran.
2.
Kedua :
Bila otopsi
itu bertujuan untuk pembelajaran, maka harus mengacu
kepada hal-hal berikut ini: Bila jasad itu
milik orang yang diketahui identitasnya, maka
dibutuhkan izinnya sebelum meninggal atau izin dari
keluarga ahli
warisnya. Dan tidak boleh mengotopsi orang yang darahnya
terlindungi (muslim atau kafir zimmy) kecuali dalam
keadaan darurat.
Wajib
melakukan otopsi dalam kadar yang minimal atas tidak merusak
jasad mayat. Mayat wanita
tidak boleh diotopsi kecuali hanya oleh dokter wanita
juga, kecuali bila memang sama sekali tidak ada dokter
wanita.
3.
Ketiga:
Wajib dalam
segala keadaan untuk menguburkan kembali semua
jasad mayat yang telah diotopsi. Itulah
ketetapan para ulama tentang hukum otopsi, yang pada hakiatnya
dibolehkan asal memenuhi ketetapan yang telah
digariskan.