Keluargaku Surgaku
Advertisement
FIQH AKTUAL | Sejatinya keluarga adalah tempat kita melepas lelah sehabis seharian dilanda penat saat kerja, tempat bertukar rasa ketika gundah melanda, tempat berbagi disaat beban terasa berat dipikul sendiri.
Namun, nyatanya selama ini hal tersebut seperti terabaikan. Padatnya aktifitas diluar rumah menyita waktu yang seharusnya diluangkan untuk keluarga. Seringnya dalam 24 jam hampir dari setengahnya bahkan lebih waktu kita tersita untuk aktifitas diluar rumah, entah sibuk bekerja ataupun pergi bersama teman.
Sosok seorang ayah yang harusnya bisa mengayomi anak dan menjadi tempat bertanya atau berbagi seakan sekarang sudah tak lagi ada. Tuntutan kebutuhan hidup, mahalnya biaya sehari-hari menuntut untuk bekerja lebih keras dan lebih lama. Terkadang saat sang ayah berangkat bekerja, anaknya masih belum terbangun dari tidur dan ketika sang ayah pulang dari kerja, anaknya telah kembali lelap tertidur. Miris.
Bahkan yang jauh lebih menyedihkan lagi, ketika sosok seorang ibu yang harusnya menjadi madrasah dan teman bagi anaknya dirumah pun, kini ikut sibuk mencari nafkah. Bahkan ada yang jauh lebih mementingkan karir dan pekerjaannya dibandingkan anak.
Rela membebani orang tua, menitipkan anak-anaknya kepada orang tuanya. Tak cukupkah ibunya merawatnya sejak kecil sampai cucunya pun dibebankan padanya. Atau bahkan yang lebih miris lagi, anak-anaknya rela ia titipkan pada pengasuh anak. Yang seringkali lalai atau bahkan kasar terhadap anak-anak. Walau tak sedikit yang juga penyanyang.
Harta benda seperti perhiasan dan uang tak rela ia titipkan pada orang lain, tetapi anak yang merupakan karunia terindah dari sang pencipta, ia dengan suka rela menitipkannya pada orang lain.
Keluarga yang harusnya menjadi surga didunia bagi seseorang, kini tak lagi pada tempatnya.
Akhirnya terbentuklah generasi yang tak lagi kamil, anak-anak yang nakal, yang mungkin karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Jangankan mencintai Allah dan rasulnya, mungkin mengenal kitabnya saja tidak. Hanya sekedar tahu apa agamanya tanpa menjalankan perintah Tuhannya.
Jangankan mengahdirkan insan yang islami, yang hanya sekedar menghormati orang lain saja mungkin tidak. Ditambah lagi dengan tata cara hidup yang hedonis, semakin memperburuk keadaan. Begitu pula dengan sistem pendidikan, ada murid yang bahkan sampai melawan gurunya, ketika dinasihati malah tidak terima dan sampai orang tua nya pun melaporkan ke polisi atas tuduhan ini itu.
Lalu siapakah yang patut disalahkan atas semua ini, apa yang salah? Individunya kah atau sistemnya?
Kunci dan jawaban dari setiap problematika hidup yang menjelimat ini hanyalah satu, hidupkan kembali aturan-aturan Allah. Niscaya keberkahan akan kita rasakan dalam hidup. Keluarga yang dapat menghasilkan insan-insan yang kamil, yang mencintai Al quran dan sunnah.