Iman di Atas Segalanya

Advertisement
Iman di Atas Segalanya


FIQH AKTUAL | Hubungan antara ibu dan anak tak bisa terpisahkan. Kondisi inilah yang membuat salah seorang sahabat Rasulullah SAW, Saa'd bin Abi Waqqash, pernah mengalami dilema terbesar dalam hidupnya. Sosok yang dikenal sebagai sahabat pertama masuk Islam pada periode dakwah Makkah itu harus memilih antara keyakinan terhadap agama Allah SWT atau mempertahankan ibundanya. 

Sa'ad sendiri merupakan orang yang sangat berbakti pada orang tuanya. Ia sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, terutama ibunya. Berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya, ia selalu merasa salah dengan cara hidup sukunya, yaitu menyembah berhala.

Ia dikenal sebagai prajurit yang tangguh karena keahlian memanahnya sangat diandalkan dalam peperangan. Selain tangguh secara fisik, ia juga tangguh dalam mempertahankan imannya. Mentalnya untuk selalu percaya pada Allah SWT tak ada yang bisa mengalahkannya, meski ia harus membuktikannya pada ibunya sendiri.    

Kemudian, saat ia dikenalkan dengan Islam oleh Abu Bakar ash-Sidiq, ia merasa mendapatkan sebuah oase di tengah gurun. Islam inilah yang menyejukkan jiwanya dan ia yakin karena inilah yang masuk akal baginya.

Ia kemudian mendengarkan langsung ajaran-ajaran Islam dari mulut Rasulullah SAW. Setiap selesai mendengarkan ajaran penyejuk jiwa tersebut, ia merasa semakin yakin pada pilihannya. Namun, sayang, pilihan terbesar dalam hidupnya ini ditentang oleh keluarganya. 

Orang yang paling menentang keislamannya justru adalah ibu kandungnya sendiri. Mendengar anaknya masuk Islam, ia marah besar. Segala upaya dilakukannya agar Sa'ad mau kembali pada ajaran nenek moyang sukunya dulu, yaitu menyembah berhala. “Kembalilah pada ajaran nenek moyangmu atau kau akan kehilangan ibumu ini,” ancam sang ibu.

Melihat hal ini, Sa'ad sangat sedih hatinya. Ia sangat sayang pada ibunya, ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan, melahirkannya, dan membesarkannya dengan didikan sebaik-baiknya.

Namun, ia telah mantap memeluk Islam. Baginya, iman yang sudah diyakininya ini akan dipertahankannya meski nyawa taruhannya. Iman yang telah tertancap dalam lubuk sanubarinya tersebut merupakan harta paling berharga dan tak akan mau ia menukarkannya dengan apa pun.

Sa'ad berharap ibunya dapat mengerti tekadnya yang telah bulat pada Islam itu. Bahkan, ia juga ingin ibunya percaya pada Allah SWT. Namun, ternyata harapannya tersebut jauh dari kenyataan. Ibunya justru melakukan hal-hal yang membuat Sa'ad semakin bersedih karena terus memaksanya agar kembali menyembah berhala.

Upaya yang paling parah yang dilakukan ibundanya adalah mogok makan. Ibunda Sa'ad menolak makan hingga beberapa hari. Tubuhnya pun mulai melemah dan sakit. Orang-orang telah membujuknya mati-matian dan membawakan makanan kesukaannya yang enak-enak. Hasilnya tetap nihil. Ia hanya mau makan jika Sa'ad mau kembali menyembah berhala.

Ancaman yang diberikan ini membuat Sa'ad sangat bersedih. Bagaikan makan buah simalakama, ia dihadapkan pada dua pilihan yang amat sulit. Pertama, mematuhi ibunya, namun ia berarti murtad dari Islam. Atau, pilihan kedua, yaitu tetap mempertahankan imannya, namun ia akan kehilangan ibunya.

Pilihan ini sungguh sangat sulit baginya. Ibunya adalah orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Ia tak mungkin menyakiti, mengecewakan, bahkan menjadi anak durhaka. Namun, cinta dan sayangnya kepada ibunya ini diuji, dipertentangkan dengan sebuah hidayah iman yang baru saja ia terima.

Dua pilihan ini sama-sama punya risiko besar. Jika ia memilih mengikuti kehendak ibunya, berarti ia harus melepaskan sesuatu yang sangat berharga yang selama ini dia cari-cari, yaitu iman. Jika iman yang sudah tertancap di dalam dadanya dilepaskan, Sa'ad yakin hidupnya di dunia dan di akhirat kelak tidak akan pernah bahagia. Sebaliknya, jika dia mempertahankan imannya, berarti dia telah mengecewakan ibunya, satu hal yang tidak pernah diinginkannya.

Betapa pun sulitnya pilihan tersebut, Sa'ad tetap harus menetapkan keputusan dan menanggung risikonya. Pilihan yang ia ambil adalah tetap teguh pada imannya dan setia pada Islam. Dengan berat hati, ia pun kemudian meninggalkan ibunya yang tetap tak mau makan sesuap pun jua.

Sa'ad terus mengikuti dakwah-dakwah yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Ibunya pun terus melanjutkan aksi mogok makannya hingga tubuhnya semakin lemah tak berdaya.

Ketika kondisi sang ibu sudah sangat gawat, orang-orang kemudian memanggil Sa'ad kembali. Mereka berkata, melihat kondisi ibundanya sekarang, kemungkinan ajalnya sudah dekat. Sa'ad dipanggil agar bisa menyaksikan ibunya untuk terakhir kalinya.

Melihat kondisi ibunya sekarang, Sa'ad semakin sedih. Perempuan yang sangat disayanginya tersebut kini hanya bisa tergolek lemah, tubuhnya sangat kurus, tinggal tulang dibalut dengan kulit. Namun, ketika tahu anaknya datang, sang ibu pun masih menyisakan tenaganya untuk berkata-kata.

“Ibu kira engkau tak mau pulang lagi, Nak,” ujar sang ibu. “Kata orang-orang, kau telah lupa pada ibumu ini. Sihir Muhammad telah membuatmu lupa. Lihatlah ibumu sekarang ini, anakku, kembalilah kau pada ajaran nenek moyangmu. Ibu tidak akan makan hingga kau mau meninggalkan Muhammad dan ajaran barunya itu,” katanya.

Betapa remuk rasanya dada Sa'ad saat itu. Ibunya yang sangat ia sayangi kondisinya sangat menyedihkan tersebut hanya karena perbuatannya. Terjadi perang batin dalam diri Sa'ad, antara keyakinannya pada Islam dan cintanya pada ibunya. Ini sebuah ujian yang sangat berat baginya.

Sa'ad pun sadar, ia harus mengakhiri masalah ini. Dengan tegas, ia berkata pada ibunya. “Wahai ibunda tercinta, demi Allah, aku sangat mencintaimu. Namun, cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengalahkan cintaku kepada dunia dan seluruh isinya. Sungguh, seandainya engkau mempunyai seratus nyawa, lalu nyawa-nyawa itu keluar satu per satu, tidaklah aku akan meninggalkan agama ini. Bahkan, andai seratus nyawa ibu ditambah satu nyawaku sendiri, aku tetap akan memegang teguh akidahku,” ujarnya.

Ucapan dari anaknya tersebut akhirnya meluluhkan hati sang ibu. Ia pun menyerah, ternyata semua usaha, bahkan menyakiti dirinya sendiri agar Sa'ad mau meninggalkan Islam, hasilnya percuma. Ia pun sadar, jika usahanya tersebut diteruskan, pasti berujung pada kegagalan. Anaknya tetap teguh pada iman yang baru dipeluknya tersebut.

Sa'ad telah membuktikan keteguhan iman seorang mukmin sekaligus kecintaannya yang sangat besar kepada lslam. Sebuah kecintaan yang kadang memunculkan tindakan nekat yang berbahaya. Namun, setelah melihat keteguhan imannya tersebut, ibunya pun sadar dan kembali mau makan.